Baru saja menemukan account Facebook seorang legenda semasa SMA. Bukan guru bukan siswa. Jaman dulu saja sudah sepuh. Apalagi sekarang. Kalau tidak salah sudah pensiun. Seorang Cina yang secara resmi tercatat dengan nama Jawanya, tapi biasa dipanggil dengan nama Cinanya. Seorang Cina yang lebih Jawa daripada orang Jawa sendiri. Sosok yang di sekolah yang (menurutku cenderung) egaliter ini dipandang setara, ketika murid-murid bisa bercengkerama dengannya dengan bahasa Jawa kasar/ngoko sarat pisuh-pisuhan. Harus kuakui bahwa waktu itu aku tidak banyak srawung dengannya, dan barangkali dia lebih kenal aku karena aku anaknya bapakku, yang pada waktu itu, tiga puluhan tahun lalu, sepertinya lebih banyak dikenal di sekolah. Tapi melihat alumni sekolahku, senior-senior yang tidak pernah kujumpai (karena sepertinya sudah lulus duluan sebelum aku masuk) jagongan di rumahnya, aku tak pelak jadi merindukan atmosfir SMA secara khusus dan kota Jogja secara umum yang (dalam sudut pandangku) laidback, dengan aktivitas sosialisasi yang murah meriah, bahwa dengan tiga piring gorengan (pisang goreng, tempe, mendoan, telo*, sukun), lalu kacang rebus (walaupun saya sebenernya ga suka), serta teh nasgithel**, asbak buat yang ngrokok plus kartu dan papan catur dan sengsu***, total seharga beberapa puluh ribu rupiah saja untuk memberi makan lima ribu beberapa orang, sudah tercipta rasa gayeng alias keakraban. Tidak seperti di sini, ketika saya melihat kawan-kawan entah orang asli sini atau imigran(tm) macam saya demi kegayengan pergi ke restoran kelas menengah lalu mengambil potret diri nan narsis lalu dimasukkan Facebook: terlihat absurd di mata saya yang dari keluarga menengah agak bawah ukuran Indonesia ini ya walaupun saya toh melakukannya juga kadang-kadang demi adaptasi(tm). Kegayengan kelas mendoan ironisnya menjadi barang mewah buat saya, karena saya musti menghabiskan jutaan rupiah buat beli tiket ke Jogja buat bertemu dengan kawan lama, dan waktu juga tidak bisa dibeli. Tapi ya, untuk kembali ke sana dalam jangka waktu lama dan mendapatkan keakraban kampung halaman pun tak mungkin. Dijadikan semata pengingat sajalah bahwa hidup bukan melulu soal kerja, perang ideologi, dan kegalauan para kebelet-kawin.
.
.
.
* Ketela. Bilang telo di Jogja sudah biasa. Bilang telo di sini jadi perhatian. Dibilang medok. Ada sedikit perasaan ga nyaman, walaupun saya yaa take it easy sajalah. Halo teman-teman Jowo ngapak, saya jadi bisa merasakan “penderitaan” kalian. 😛
** Panas legi (manis) kenthel (kental)
*** Oseng-oseng asu (anjing). Jadi simbol de facto orang Jawa (entah Jawa beneran atau Cina yang terkena pengaruh Jawa Jawa-jawaan) non-Muslim. Tapi sebelum konservatard dan libertard menyerang, saya sendiri sudah lama ga makan sengsu, dan beberapa waktu lalu memutuskan untuk tidak makan sengsu sampai mereka diternakkan secara pantas (sepertinya tidak mungkin terjadi). Sebenarnya saya masukkan di situ untuk tidak diseriusi.
0 Responses to “Seberang Lautan”