Integrasi, Asimilasi, Sekat: Clash(?) of Civilisations

Warning: ngubek-ubek agama, budaya, dan ideologi.

Postingan ini berawal dari sebuah tulisan mentah yang teronggok di dashboard selama beberapa bulan. Tujuan awalnya tentu saja untuk menguji keyakinan dan ideologi saya, sebagai orang yang mengaku kiri tapi kanan, atau kanan tapi kiri. Saya sudah lama pingin melengkapi postingan itu, tapi kayanya alurnya sudah berantakan dan susah diuraikan lagi, makanya saya tulis ulang di postingan ini. Nada tulisan ini mungkin agak konfrontatif, tapi ini tak lebih karena saya ingin mencoba membawa pembaca pada situasi yang dibahas di sini.

***

1) Integrasi, Asimilasi

Suatu hari di sebuah kota di benua Eropa, seorang wanita belum lagi tiga puluh ditembak di kepala oleh ayahnya. Dalihnya, pembunuhan demi kehormatan (honour killing). Beberapa tahun sebelumnya, wanita ini menolak dengan keras dijodohkan dengan seorang sepupunya, dan memilih berpacaran dengan seorang pria Eropa asli yang tidak disetujui keluarganya. Mereka adalah keluarga imigran dari Timur Tengah.

Itu adalah cerita nyata tentang Fadime Sahindal. Saya terbawa ke artikel Wikipedia itu ketika ngobrol-ngobrol tentang para pendatang/imigran di Eropa dengan seorang teman akrab saya yang sudah bertahun-tahun lamanya tinggal di Eropa. Latar belakang ideologis kami serupa, sama-sama liberally-minded conservatives. Namun demikian, teman saya itu sudah sedikit banyak tahu pola hidup dan norma-norma sosial orang Eropa, dan sepertinya juga lebih toleran terhadap kebudayaan sana, misalnya terhadap minuman beralkohol. Kalau babi sih kami sama-sama makan.

Ini di Eropa, tepatnya di Berlin

Ini di Eropa, tepatnya di Berlin

Nah, kembali ke masalah utama, jadi ada dua ekstrim dalam kasus ini. Yang pertama adalah sang imigran generasi pertama, yang konservatif, atau malah fundamentalis, dan masih sangat taat pada budaya asalnya. Seperti dalam kasus Fadime, mereka adalah keluarga Kurdis dari Turki, dan baru pindah ke Swedia ketika Fadime berusia tujuh tahun. Yang kedua adalah budaya Eropa sendiri yang sangat bebas. Di tengah-tengah dua kutub ini, ada sang imigran generasi kedua yang terjebak di antara dua kebudayaan, yang kebingungan. Mereka ini, seperti Fadime, adalah orang-orang yang lahir di tanah perantauan, atau masih kecil ketika berada di sana. Mereka lebih mengidentifikasi dirinya sebagai orang Eropa ketimbang orang Timur Tengah.

Tentang imigrasi di Eropa, saya ingin memasukkan tiga kasus di sini: kasus Perancis, Jerman, dan Swedia. Kebetulan yang lagi panas di sana adalah kasus imigran Arab Muslim, jadinya ini yang bakal disorot di tiga kasus berikut.

  • Perancis. Barangkali masih segar di ingatan Saudara tentang kontroversi burqa di Perancis. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang baru disahkan tahun 2010 kemarin, setiap wanita yang diketahui memakai burqa akan didenda EUR 190 dan diwajibkan untuk mengikuti kursus kewarganegaraan (ini yang ingin saya tekankan, karena saya pikir mereka pikir wanita-wanita yang memakai burqa tidak “Perancis”), sedangkan pria yang diketahui memaksa seorang wanita untuk memakai burqa akan dipenjara selama satu tahun atau didenda EUR 19,000. (sumber)
  • Jerman. Kanselir Jerman, Angela Merkel, tentang multikulturalisme di Jerman yang dianggapnya gagal, berkata bahwa masjid (sebagai simbol imigran Muslim) adalah bagian dari masyarakat Jerman (sumber). Tapi di sisi lain, beliau menekankan pentingnya penghargaan terhadap konstitusi, dan komunitas terpisah yang tidak mengindahkan hak-hak dasar di sana tidak bisa diizinkan (sumber).
  • Swedia. Nyamko Sabuni, Menteri untuk Integrasi dan Persamaan Gender Swedia, berkata bahwa jika para imigran ingin tinggal di Swedia, mereka harus bisa beradaptasi dengan pola hidup di sana (sumber). Nyamko sendiri adalah imigran generasi kedua, dengan orang tua berasal dari Burundi.

Dari tiga kasus ini, bisa ditarik benang merah bahwa yang diminta orang Eropa itu, walaupun bahasanya bisa terdengar keras, sebenarnya “sederhana”: kami membuka diri terhadap pendatang dari manapun, tapi mbok ya tolong, berbaurlah, dan beradaptasilah dengan budaya kami. Begitu saja to? Simpel dan masuk akal. Seperti kata pepatah, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, dan “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Kalau tidak mau beradaptasi, lebih baik ndak ke Eropa to, demi kebaikan bersama. Tapi tidak semudah itu, Saudara-Saudara. Bagaimana kalau budaya di tempat terbaru berlawanan dengan norma yang kita anut? Mana yang musti dipilih? Saya sendiri ya kebingungan kalau dihadapkan pada kasus seperti ini. Mungkin saya sendiri bisa agak beradaptasi, misalnya kalau menilik budaya Eropa yang akrab dengan minuman beralkohol, saya bisa menjadi social drinker. Ini juga langkah yang diambil seorang teman lain yang saat ini kuliah di negara tetangganya teman pertama saya tadi. Tapi misalnya saya mendapat pacar orang Eropa, dan dia mengajak saya berhubungan seks sebelum nikah, yang barangkali sudah biasa di sana, apa ya bisa? Terus terang saya saya ga bisa; saya orang Jawa Katholik, dan yang seperti itu tidak bisa saya lakukan. Okelah bisa jadi pacar saya mengerti. Tapi gimana kalau nanti kami menikah dan punya anak. Menilik kasus imigran Arab di atas, rela kalau si anak nantinya sudah berhubungan seks bahkan sebelum berumur 17? Pertanyaan yang diajukan teman yang sama ini bikin saya glagepen. Kemudian dia bercerita tentang pengalaman seorang keluarga dari Indonesia di Belanda yang bilang padanya, bahwa kita ga bisa memaksakan anak-anak yang besar di sana nilai-nilai seperti kita diajarkan di Indonesia. Kita mesti lebih toleran terhadap budaya setempat, dan tidak serta merta menolaknya, karena anak tumbuh di lingkungan yang normanya berbeda dari lingkungan tempat kita tumbuh dulu, dan kita tidak bisa serta merta memaksakan norma yang berlaku di tempat asal kita kepada mereka. Diskusi menjadi sangat penting, dan ini mungkin yang disesali dari kasus Fadime, karena bisa jadi kedua pihak sama-sama ngotot dan kerasnya. Akibatnya pun fatal.

Irfan Haarys Bachdim, orang Indonesia keturunan Belanda yang dilahirkan dan dibesarkan di Belanda

Irfan Haarys Bachdim, orang Indonesia keturunan Belanda yang dilahirkan dan dibesarkan di Belanda

Nah ini baru kasus saya. Saya, seperti ditulis di atas, orang Kristen, dan ada kemungkinan bahwa seandainya saya di Eropa, orang sana tidak memandang saya seasing itu. Bagaimana kalau Anda, misalnya, seorang Muslim? Bagaimana Anda akan berbaur dengan mereka orang Eropa? Bisa jadi (saya ga tahu persis sih) Anda tidak memiliki privilege seperti kaum Yahudi, yang walaupun juga tidak minum alkohol dan hanya makan makanan kosher, sudah cukup akrab dengan orang Eropa. Anda juga bukan seperti Franck Ribery, yang kendati seorang Muslim convert, merupakan orang Perancis asli. Lagipula dia pernah didakwa berhubungan seks dengan perempuan di bawah umur, jadi saya yakin pembaca Muslim tidak ingin dibandingkan dengannya. Juga perlu dicatat bahwa sentimen anti Islam cukup terdengar di sana. Tentunya Saudara masih ingat dengan pelarangan minaret di Swiss dan kasus Fitna-nya Geert Wilders. Kalau teman saya bilang, berdasarkan obrolannya dengan seorang ibu pegawai pos yang ia sewa kamar di rumah keluarganya sebagai tempat tinggal sementara, hal ini disebabkan oleh ketidakmauan dan ketidakmampuan para imigran Muslim, terutama dari Timur Tengah, untuk berbaur dengan orang Eropa, padahal mereka dibeayai pajak warga negara sana. Alih-alih berbaur, mereka menjadi komunitas eksklusif dan terpisah dari komunitas lainnya. Kalau begini, ya wajar caranya kalau orang sono pada sebel, dan politik kanan jauh semakin populer.

Omong-omong tentang Nyamko Sabuni, apa seperti dia yang dimaksud imigran yang berbaur? Saya pribadi lebih suka Mesut Özil sih. Tampan pula.

Pidato Fadime di sebuah seminar bisa ditemui di sini. Sebuah kutipan darinya:

They told me not to play with Swedish children, to come straight home from school every day.

Sekat itu ada, Saudara-Saudara. Sekat itu ada.

***

2) Sekat

Ini kebalikan dari nomor 1. Anda ingin bergabung dengan sebuah komunitas, tapi seberat apapun usaha Anda, Anda tidak bisa memasukinya.

Beberapa hari yang lalu, saya makan siang di sebuah kantin di kampus. Waktu itu saya pingin makan yang murah, jadi saya beli di stall Chinese food. Satu piring nasi dengan satu lauk berat (daging), satu lauk ringan (tahu) serta sayur itu dua dolar saja, atau sekitar empat belas ribu rupiah. Itu sudah murah di sini. Nah, kok waktu itu saya melihat ada daging babi yang menggiurkan di etalase. Sekedar informasi, lauk daging babi di sini agak beda dengan yang saya temui di Jogja. Biasanya di sini daging babi dimasak menjadi char siew atau dibakar, sedangkan di Jogja banyak yang dikecapin. Nah yang saya lihat waktu itu babi kecap dirajang tipis-tipis, dan saya pun beli itu, duduk di meja sendirian dan makan. Beberapa waktu kemudian, datang teman saya, duduk di meja sebelah saya. Dia menyapa saya, dan saya membalasnya. Namun, saya ga enak pindah untuk ngobrol ke meja dia, karena 1) dia seorang Muslim, dan 2) saya lagi makan babi. Kebijakan saya adalah, kalau saya lagi makan sama bersama dengan seorang Muslim, seandainya saya makan ga halal pun, saya milih untuk ga makan babi. Takut dia jijik atau gimana. Sekedar catatan, saya juga makan anjing dan kodok, walaupun sangat jarang, dan ga semua orang bisa melihat adegan memakan itu to. Jijik soalnya. Wong ibu saya aja ga. Nah, yang saya takutkan seperti itu. Mungkin aja aslinya dia ndakpapa sih, tapi sayanya tetep ga enak.

Char siew rice ala Singapore

Char siew rice ala Singapore

Contoh lain. Pada waktu Idul Adha tahun kemarin, saya diajak ibu kos makan malam. Sebagai latar belakang, beliau ini baik banget ke saya. Beliau sering ajak saya makan malam, dan ga melarang kalau saya ribut main musik sore-sore. Saya pun nyaman tinggal di tempat kos saya, dan sudah hampir 2 tahun. Nah, waktu itu, beliau barusan pulang dari tempat suami di Johor, membawa ketupat, daging korban dan beberapa makanan lain. Namun beliau berpesan, “yang ini (sambil menunjuk ke daging sapi besar) kamu ga bisa makan, buat Muslim saja soalnya”. Saya sih ndakpapa-ndakpapa saja, toh saya udah dikasih makan sudah berterima kasih, tapi saya jadi bertanya-tanya. Kalau di Jogja, malah keluarga kami dikasih sama masjid kampung dan tetangga (kebetulan tetangga kami adalah keluarga agak jauh), sampe bapak saya ga enak sendiri. Beliau bilang, harusnya kita ini ga perlu dikasih, buat orang lain yang membutuhkan aja. Saya sempat bertanya di Facebook, dan Joe menjawab bahwa setidaknya, dia tidak seperti itu, dan biasanya di Bali tempat tinggal dia di sana, dia makan daging korban bareng-bareng dengan temannya, tanpa melihat latar belakang agamanya. Sayapun berhipotesis bahwa ini perbedaan pandangan dalam lingkup internal saja, sampai beberapa jam kemudian teman saya, masih yang sama dengan teman di nomor 1, iseng-iseng googling dan memberikan laman forum berbahasa Melayu ke saya, yang menjelaskan tentang masalah ini. Saya ya cuma, ooo…

Apakah hanya karena hal ini terjadi kepada saya lantas saya menulisnya? Oh tidak. Perkenalkan, Debito Arudou, warga negara Jepang by naturalisation. Awalnya seorang warga negara USA, dia pindah ke Jepang pada awal 1990-an supaya dekat dengan istrinya, yang secara ironis dia ceraikan pada 2004, dan menjadi warga negara Jepang pada tahun 2000. Debito terkenal dengan kasus penuntutan onsennya. Yunohana onsen, sebuah onsen di Otaru, Hokkaidou hanya mengizinkan orang Jepang masuk ke onsennya. Sekali lagi, orang Jepang. Nah, pada 1999, dia datang bersama beberapa teman bulenya ke sana untuk mengeceknya, dan memang tidak boleh. Tahun 2000, setelah menjadi WN Jepang, dia kembali lagi ke sana dan menemui dirinya dilarang masuk karena dia orang bule! Debito juga membawa juga dua anaknya, dan dari dua ini, hanya satu yang boleh masuk, karena mirip orang Jepang. Satunya lagi mirip bule, dan dilarang masuk. Bisa dilihat bahwa seberapa besarpun usaha Debito, manajemen onsen tetap tidak bisa menerimanya untuk masuk. BTW Debito sendiri adalah aktivis kontroversial, dan kritikus seperti Alex Kerr bilang dia ini pengeluh, konfrontatif, dan ini bukan pendekatan yang bagus bagi orang Jepang yang mungkin lebih permisif. Oleh karena itu, terserah Anda sendiri bagaimana memahami kasusnya.

Yang ingin saya sampaikan di sini adalah, pada banyak kasus, apapun yang Anda lakukan, Anda tidak bisa memasuki sebuah komunitas. Debito yang sudah menjadi warga negara Jepang pun tetap tidak bisa diterima secara penuh oleh warga Jepang karena penampilannya yang…ya penampilan bule, kulit putih. Contoh lain pasti ada, dan barangkali ini salah satunya alasan kenapa di kalangan Indonesia ada semacam peraturan tak tertulis, bahwa anggota keluarganya sebaiknya menikah dengan orang yang sesuku atau seagama, karena lebih mudah untuk menyamakan persepsi. Mungkin kesukuan sudah tidak seperti jaman kakek buyut kita, tapi agama tentunya masih. Sekatnya barangkali terlihat lebih jelas ketimbang di dunia Barat. Kalau Anda ngotot menembus batas, itu mirip dengan membagi sebuah bilangan real dengan nol. Hasilnya seperti ini.

Yang jelas, sepertinya para pendukung internasionalisme, yang mengaku-ngaku penduduk dunia, musti menjawab pertanyaan ini dulu: seberapa bisa Anda membuka diri dan beradaptasi terhadap budaya asing? Seperti apa Anda merespon budaya lain yang tidak bisa menerima Anda dengan intim?

Sekat itu fuzzy, tapi ada, Saudara-Saudara. Sekat itu ada.

***

Sekian racauan saya. Terima kasih.

PS: sumber gambar 1, sumber gambar 2.

10 Responses to “Integrasi, Asimilasi, Sekat: Clash(?) of Civilisations”


  1. 1 lambrtz 27/01/2011 at 3:05 PM

    @Eon Strife
    Jangan nyampah dong Bos. Komenmu aku masukin spam ya.

  2. 2 itikkecil 27/01/2011 at 3:22 PM

    saya pernah kok nemenin temen saya makan babi, dan terus terang saja saya gak jijik. biasa aja.
    saya dari keluarga muslim konservatif. tapi temen-temen saya banyak juga yang bukan islam. jadi buat saya pribadi terserah saja. situ mau makan babi ya terserah. berteman buat saya adalah dengan orang yang membuat saya merasa nyaman, terlepas dari agamanya apa. tapi saya pernah ketemu sama orang yang aneh menurut saya. saya tahu persis yang bersangkutan doyan korupsi. tapi ketika ditawari kue yang diduganya dibuat orang non muslim langsung ogah. hypocrit kan…
    saya sih merasa liberal juga. tapi buat saya pribadi, tidak pre-marital seks, tidak minum-minuman beralkohol. tapi kalau orang lain mau melakukan itu ya terserah.
    *jadi inget ketika di suatu pesta, semuanya ngebir kecuali saya yang minum coca-cola*

  3. 3 bangaip 27/01/2011 at 9:00 PM

    seberapa bisa Anda membuka diri dan beradaptasi terhadap budaya asing? Seperti apa Anda merespon budaya lain yang tidak bisa menerima Anda dengan intim?

    Soal budaya dan seksualitas. Kata Amin teman saya, “Kalo lu sebagai cowok Indonesia tinggal lima tahun terus-terusan di Amsterdam dan ga jadi gay. Berarti lo bener-bener hetero”

    Saya cengar-cengir mendengarnya. Sebab dia mencoba mengaitkan konteks geografi, budaya dalam struktur masyarakat dan perilaku seksual.

    Cerita lain. Suatu hari saya mampir ke rumah saudara, ditawari Blutwurst, sosis kering yang dibuat dari darah dan lemak babi keras. Jangankan di rumah dia di Wina, di kampung saya Cilincing aja saya nggak makan Marus (jajanan yang terbuat dari darah beku). Saya tolak sambil melihat dengan enggan panganan ajaib itu.

    Dia bertanya kecewa, “Kalau seseorang bisa jadi social drinker, kenapa nggak bisa jadi social babi eater?”

    Saya jawab, “Di kampung gua orang makan jeroan sapi di jadiin sop. Lu nanti kalo mampir ke kampung gua dan dipaksa makan gituan dan kalo nggak mau, dikritik dan dituduh non-sosial. Lo tetep mao makan?”

    Dia memandang jijik, “Jeroan sapi? Iiihhh…”

    Hahaha…

  4. 4 Sweet Martabak 28/01/2011 at 9:42 AM

    Yup, satuju. Penampilan fisik bisa jadi awal penerimaan dan penolakan. Misal pengalaman mamah saya, yang rada-rada mirip keturunan Tionghoa. Kalau beliau belanja ke Glodok dan Roxy, malah sering dikasih harga murah karena mirip pedagangnya :P. Tapi kalo ke pasar tradisional, beliau suka pergi pake jilbab biar kaga dimahalin 😆 *dasar ibu-ibu*

    Jangan jauh-jauh soal interantionalism, soal internal suku pun sekat itu selalu ada. Curhat dikit.. *uhum*

    Saya adalah keturunan 25% betawi dan 75% sunda (didalamnya ada campuran sunda, jepang, cina, tapi entah berapa prosentasenya) But, anyway.. karena dibesarkan di lingkungan jauh dari kampung, dan didikan keluarga, saya tidak bisa berbahasa daerah secara aktif. Bisanya pasif, jadi orang ngomong saya ngerti.

    Kalau pulang kampung, dengan ketidakbiasaan itu saya suit membaur. Padahal saya ngerti, tapi ga bisa ngomongnya. Di lain pihak sodara-sodara saya juga mengerti bahasa Melayu, tapi ga biasa ngomongnya :|.

    Namun pernah suatu ketika, entah bagaimana awalnya, saya bersama seorang Tante berbicara dalam dua bahasa tapi sama-sama nyambung. Saya ngomong bahasa Melayu, beliau menanggapi dengan bahasa Sunda :lol:.

    Ya jadi, ketika toleransi dan pemahaman itu sudah mulai terbentuk, mungkin sekat itu bisa dibikin jadi transparan :mrgreen:

  5. 5 lambrtz 28/01/2011 at 10:44 PM

    Kelupaan: terima kasih buat reviewer anonim yang ngecekin postingan ini.

    @itikkecil

    jadi buat saya pribadi terserah saja. situ mau makan babi ya terserah.

    Nah itu kalau pas ketemu Mbak Ira. 😀 Takutnya kalo beda orang beda persepsi. :-S Kebetulan teman saya termasuk golongan konservatif.

    tapi saya pernah ketemu sama orang yang aneh menurut saya. saya tahu persis yang bersangkutan doyan korupsi. tapi ketika ditawari kue yang diduganya dibuat orang non muslim langsung ogah. hypocrit kan…

    Hahahahaha. Menurut saya, ada baiknya beliau didoakan biar masuk surga. 😀 Karena sepertinya kemungkinannya kecil :-“

    saya sih merasa liberal juga. tapi buat saya pribadi, tidak pre-marital seks, tidak minum-minuman beralkohol. tapi kalau orang lain mau melakukan itu ya terserah.

    Yang ini saya amini deh, saya begini juga soalnya. 😀 *toss*

    Makasih komennya Mbak. 😉

    @bangaip
    Nice story! 😛
    Jadi yang begituan mestinya ditanggapi dengan becandaan ya. Besok-besok kalau ada makanan yang ga bisa saya makan, saya tanyain tentang jeroan sapi aja ya. 😆

    BTW sepertinya saya tahu Amin ini deh. Second degree friend saya. 😛 (ada teman pernah di Belanda juga)

    Eh Bangaip kan setahu saya domisili di Eropa yah. Nanti kalau mendidik anak bagaimana Bang? Saya terus terang masih ga nyaman kalau anak saya nantinya nglakuin premarital sex. :-S

    Makasih komennya Bang. 😀

    @Sweet Martabak

    Misal pengalaman mamah saya, yang rada-rada mirip keturunan Tionghoa. […]

    Wah taktik pragmatis yang bagus. 😮
    Barangkali Bang Ando mau coba? *eh*
    Kalo saya, saya sendiri heran. Tampang Jowo kaya saya di sini pastinya lebih mirip dengan Melayu. Tapi di sini kadang ada aja orang ngajak ngomong saya pake Bahasa Mandarin. 😆

    (didalamnya ada campuran sunda, jepang, cina,

    Hah, serius? Dari mana? :-/

    Namun pernah suatu ketika, entah bagaimana awalnya, saya bersama seorang Tante berbicara dalam dua bahasa tapi sama-sama nyambung. Saya ngomong bahasa Melayu, beliau menanggapi dengan bahasa Sunda 😆

    Wah keren. Ini namanya soulmate. :-“
    Eh awak boleh cakap Melayu ker?

    Tapi yah, sepertinya anak-anak blasteran campuran begini biasanya banyak pengalaman menarik ya. Saya sendiri kayanya rada murni > 90% Jowo. Jadi ya ndak begitu menarik. 😐

    Makasih komennya Mbak Sukma. 😀 Eh 75% Sunda ya. Kalau mulai sekarang saya panggil Teh Sukma gimana?

  6. 6 Felicia 30/01/2011 at 11:51 AM

    hmm kalo soal premarital sex sih bukannya tergantung pendirian masing2 ya…
    soalnya walaupun mungkin populasinya cuma sedikiiiit banget, pasti masih ada orang2 di eropa sana yang juga menentang premarital sex…
    untuk hal2 lainnya juga, saya lebih memilih “stay true to yourself” di mana pun berada…
    orang2 pasti lebih menghargai orang2 yang punya integritas dan tahu apa yang terbaik untuk dirinya daripada yang cuma bisa ikut2an lingkungannya aja…
    adaptasi itu penting, tapi ga perlu sampai merubah identitas diri…
    cmiiw 😛

  7. 7 sora9n 30/01/2011 at 10:48 PM

    Yang jelas, sepertinya para pendukung internasionalisme, yang mengaku-ngaku penduduk dunia, musti menjawab pertanyaan ini dulu: seberapa bisa Anda membuka diri dan beradaptasi terhadap budaya asing?

    *batuk-batuk*

    Saya rasa saya tidak perlu menjawab pertanyaan ini, sebab kira-kira Anda tahulah saya orangnya seperti apa. Bukan begitu masbro? :mrgreen:

    *lanjut dengerin Méav & Chieftains*

    Seperti apa Anda merespon budaya lain yang tidak bisa menerima Anda dengan intim?

    Kalau katanya hadis sih, ambillah yang baik-baik dan tinggalkan yang buruk. Then again, I’m an infidel, so… (ninja)

    Sekat itu fuzzy, tapi ada, Saudara-Saudara. Sekat itu ada.

    Ya sudah, ditunggu saja dulu. Berapa lama sih; paling 50 tahun lagi sudah hilang. 😕 😆

    *dikeplak*

    *but that’s true!*

  8. 8 Sweet Martabak 31/01/2011 at 10:05 AM

    @ lambrtz:

    Hah, serius? Dari mana? :-/

    dari… Nenek moyangku seorang pelaut *nyanyi-nyanyi*
    Ga tau jee.. ini mah katanya buyut saya, beliaupun tau dari cerita-cerita orang-orang tuanya, dan seterusnya 😆

    Kalau mulai sekarang saya panggil Teh Sukma gimana?

    Boleh… kak, mba, teh.. asal jangan Mpo Sukma aja 😆

  9. 9 lambrtz 01/02/2011 at 8:16 PM

    @Felicia

    soalnya walaupun mungkin populasinya cuma sedikiiiit banget, pasti masih ada orang2 di eropa sana yang juga menentang premarital sex…

    Buat saya, yang disetujui mayoritas orang itulah norma. Tetap harus beradaptasi dengan orang-orang seperti ini.
    Untuk populasi sisanya yang sangat sedikiiiiit ini, yang saya takutkan adalah kalau mereka ini orang religius kanan jauh. Sama juga dong. 😐

    adaptasi itu penting, tapi ga perlu sampai merubah identitas diri…

    Betul. Yang saya tanyakan itu, seberapa jauh kita berubah, dan seberapa jauh kita tidak berubah.

    Makasih komennya, Feli. 😀

    @sora9n

    Saya rasa saya tidak perlu menjawab pertanyaan ini, sebab kira-kira Anda tahulah saya orangnya seperti apa. Bukan begitu masbro?

    Eee…
    I think I’m clueless. :mrgreen:
    Kalau situ diajak pacar berhubungan seks, mau ga? Kalau ga, dia ngambek lho. :-“

    Ya sudah, ditunggu saja dulu. Berapa lama sih; paling 50 tahun lagi sudah hilang.

    Dan saat itu saya sudah meninggal. 😦

    @Sweet Martabak
    Hooo… 😮
    Baiklah, kalau begitu saya panggil Tante eh Teh Sukma ya. 😀
    Atau Nyai sekalian? Bentar lagi mau nikah sama juragan Arab to? :-” *dikeplak*

  10. 10 darisclan 03/07/2019 at 1:18 PM

    Saya punya kenalan cewek ‘Indo’ (Prancis-Malaysia), tinggalnya di Prancis. Tapi kok beda ya dg sebagaimana yg ada disinggung disini, walau tinggal di Prancis tapi bisa menjaga nilai-nilai didikan keluarganya sbg Muslim. Ibunya muslim malay dan bapaknya Prancis muallaf, dia juga berhijab. Kakaknya juga sama kayak dia. Tapi memang bukan pribadi kolot, pergaulannya fine-fine aja banyak temen2 nya yang bule Prancis, ibarat kata konservatif ke dalam tetapi moderat diluar hehe. gitu


Leave a comment




lambrtz looks like this

Me

You can write comments in any language that you want, but please bear in mind that I only understand 4 languages: English, Indonesian, Javanese and Malay.

Archives

Categories

January 2011
S M T W T F S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031  
Click to view my Personality Profile page